KAWASAN PESISIR

DSC_0288

A. Pengertian Kawasan Pesisir

Penjelasan umum mengenai kawasan pesisir yang meliputi definisi dan karakteristik wilayah merupakan hal yang sangat penting, hal ini bertujuan agar pemahaman mengenai wilayah pesisir dapat dimengerti dan merupakan awal pemahaman dari studi ini. Pengertian teniang pesisir sampai saat ini masiti menjadi suatu pembicaraan, terutama penjelasan tentang ruang lingkup wilayah pesisir yang secara batasan wilayah masih belum jeias. Berikut ini adalah defmisi dari beberapa sumber mengenai wilayah pesisir.

Sorenson dan Mc Creary dalam Clark (1996: 1) dalam Baun (2008) ” The part of the land affected by it’s proximity to the land… any area in which processes depending on the interaction between land and sea are most intense”. Diartikan bahwa daerah pesisir atau zona pesisir adalah daerah intervensi atau daerah transisi yang merupakan bagian daratan yang dipengaruhi oleh kedekatarmya dengan daratan, dimana prosesnya bergantung pada interaksi antara daratan dan lautan.

Ketchum dalam Kay dan Alder (1999: 2) dalam Baun (2008)  “The band of dry land adjancent ocean space (water dan submerged land) in wich terrestrial processes and land uses directly affect oceanic processes and uses, and vice versa”. Diartikan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan wilayah perairan yang mana proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.

Pengeitian wilayah pesisir menurut kesepakatan terakhir internasional adalah merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah daral mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Beatley et al, dalam Dahuri, dkk, 2001: 9).

Menurut Suprihayono (2007: 14) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengamhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Pengertian wilayah pesisir menurut Soegiarto (Dahuri, dkk, 2001: 9) yang juga merupakan pengertian wilayah pesisir yang dianut di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dimana wilayah pesisir ke arah darat meliputi daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat- sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipenganahi oleh proses-proses alami yang teijadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang hutan dan pencemaran disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti pengundulan

Dari pengertian-pengertian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan icmpat percampuran antara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh terhadap kondisi fisik dimana pada umumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar. Adanya kondisi seperti ini sangat mendukung bagi wilayah pesisir dijadikan daerah yang potensial dalam pengembangan wilayah keseluruhan. Hal ini menunjukan garis batas nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis khayalan yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Di daerah pesisir yang landai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai. Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisimya akan sempit. Menurut UU No. 27 Tahun 2007 Tentang batasan wilayah pesisir, kearah daratan mencakup wilayah administrasi daratan dan kearah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan.

B. Karateristik Kawasan Pesisir

1. Karakteristik Fisik Lingkungan

Karateristik pantai secara geomorfologi menurut Hantoro (2004) adalah:

  • Pantai curam singkapan batuan, Jenis pantai ini umumnya ditemukan di pesisir yang menghadap ke laut lepas dan merupakan bagian jalur tunjaman/tumbukan, berupa pantai curam singkapan batu volkanik, terobosan, malihan atau sedimen.
  • Pantai landai atau dataran, Pesisir datar hingga landai menempati bagian mintakat kraton stabil atau cekungan belakang. Pembentukan pantai dikendalikan oleh proses eksogen cuaca.
  • Pantai dataran endapan lumpur, Estuari lebar menandai muara dengan tutupan tebal bakau. Bagian pesisir dalam ditandai dataran rawa atau lahan basah. Sedimentasi kuat terjadi di perairan bila di hulu mengalami erosi. Degradasi pantai atau pembentukan delta sangat lazim. Kompaksi sedimen diiringi penurunan permukaan tanah, sementara air tanah tawar sulit ditemukan.
  • Pantai dengan bukit atau paparan pasir, Pantai menghadap perairan bergelombang dan angin kuat dengan asupan sedimen sungai cukup, umumnya membentuk rataan dan perbukitan pasir.
  • Pantai lurus dan panjang dari pesisir datar, Pantai tepian samudra dengan agitasi kuat gelombang serta memiliki sejumlah muara kecil berjajar padanya dengan asupan sedimen, dapat membentuk garis lurus dan panjang pantai beipasir.
  • Pantai dataran tebing karang, Bentang pantai ini ditemukan di berbagai mintakat berbeda, yaitu di jalur tumbukan/tunjaman, jalur volkanik, pulau-pulau sisa tinggian di paparan tepi kontinen, jalur busur luar atau jalur tektonik geser. Terjalnya tebing pantai dan kuatnya agitasi gelombang meniadakan peluang temmbu karang tumbuh, demikian halnya dengan bakau. Tutupan tumbuhan masih mampu tumbuh di lapukan batuan, terutama di kawasan dengan curah hujan memadai.
  • Pantai erosi, Jenis pantai seperti ini terdapat dibeberapa tempat yang menghadap perairan dengan agitasi gelombang kuat.
  • Pantai akresi, Proses akresi terjadi di pesisir yang menerima asupan sedimen lebih dari jumlah yang kemudian dierosi oleh laut. Akresi pantai oleh sedimen halus sering diikuti tumbuhnya bakau yang berfungsi kemudian sebagai penguat endapan baru dari erosi atau longsor.

 2. Karakteristik Ekosisitem Pesisir

Ekosistem di perairan laut dangkal pada umumnya seperti terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove pada dasarnya dilindungi seperti pada tertera di dalam UU No.4/1982 dan UU No. 5/1990.

  • Ekosistem Estuaria, Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Pritchard dalam Supriharyono, 2002: 12).
  • Ekosistem Mangrove/ Komunitas Hutan Bakau, Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang-surut air laut)., dan kedua sebagai individu spesies (Macnae dalam Supriharyono, 2007; 40).
  • Ekosistem Padang Lamun, Padang lamun (seagrass beds) juga merupakan salah satu ekosistem yang terletak di daerah pesisir atau perairan laut dangkal. Keunikan dari tumbuhan lamun dari tumbuhan laul lainnya adalah adanya pcrakaran yang ekstenisif dan sistem rhizome. Karena tipe perakaran ini menyebabkan daun-daun tumbuhan lamun menjadi Icbat, dan ini bcsar marilaatnya dalam menopang keproduktifan ekosistem padang lamun (Supriharyono, 2007: 72).
  • Ekosistem Teaimbu Karang, Terumbu karang (coral reefs) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaC03) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut (Dawes dalam Supriharyono, 2002; 62)

 3. Karakteristik Ekonomi, Sosial dan Budaya

  • Memiliki keunggulan lokasi yang dapat nicnjadi pusat pcrUimbuhan ekonomi;
  • Penduduk mempunyai kegiatan sosial-ekonomi yang berorientasi ke air dan darat;
  • Rata-rata penduduk golongan ekonomi lemah, dengan latar belakang pendidikan relatif terbatas
  • Pengetahuan akan lingkungan sehat cenderung masih kurang, terjadi kebiasaan ‘tidak sadar lingkungan’ serta cenderung kurang memperhatikan bahaya dan resiko.
  • Terdapat peninggalan sejarah/budaya seperti museum baliari, dan sebagainya.
  1. Terdapat masyarakat yang seeara tradisi terbiasa hidup (bahkan tidak dapat dipisahkan) di atas air, seperti masyarakat Bajo. Terdapat pula budaya/tradisi pemanfaatan perairan sebagai sarana transportasi ulama.
  2. Merupakan kawasan terbuka (akses langsung), sehingga rawan terhadap keamanan, seperti penyelundupan, penyusupan (masalah pertaiianan dan keamanan) dan sebagainya.

Pengadilan Perikanan Mampukah Menjadi Terobosan ?

Pertanyaan tersebut nenarik untuk kita renungkan, khususnya ditinjau dari tiga aspek berikut: pertama, saat ini dunia peradilan kita sedang menjalani proses pembaruan, khususnya  berkenaan dengan perbaikan kinerja dan manajemen lembaga peradilan yang sudah ada. Menariknya, di tengah kuatnya arus pembaruan tersebut, rencana beberapa kalangan untuk membentuk pengadilan-pengadilan khusus juga terus berjalan, seperti rencana pembentukan Pengadilan Lingkungan, Pengadilan Korupsi, Pengadilan Pencuri Kayu, Pengadilan Perindustrian, Pengadilan Profesi Kedokteran, Pengadilan Hubungan Industrial, dan Pengadilan Perikanan (selanjutnya disingkat PP). Dua pengadilan terakhir ini bahkan telah mempunyai dasar hukum yaitu UU No. 31/2004 tentang Perikanan dan UU No. 2/2004 tentang Penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial.

Kedua, lahirnya UU No. 31 Tahun 2004 tentang  Perikanan — yang di dalamnya mengamanatkan dibentuknya PP —  saat ini sedang gencar-gencarnya mendapat sorotan publik. Tak kurang Ketua Mahkamah Agung sendiri telah dibuat kaget dengan ”lolosnya” ketentuan dalam UU tersebut, yang konon pembahasannya tidak melibatkan pihak Mahkamah Agung (Hukumonline, 18 Oktober 2004). Kritik tajam juga dilontarkan Prof Dr Indriyanto Seno Adji. Bagi Indriayanto, pembentukan peradilan khusus semacam ini dinilainya hanya akan menimbulkan kesimpangsiuran dan inkonsistensi asas penyatuatapan, di samping melanggar sistematisasi lembaga peradilan yang mengakui MA sebagai top judicial (Harian Kompas, Kamis 23 September 2004). Ketiga, terlepas dari persoalan di atas,  rencana pembentukan PP itu sendiri ternyata masih menyisakan banyak persoalan mendasar seperti: kelamahan-kelamahan dalam hukum acara, tidak adanya mekanisme koordinasi (khususnya pada tingkat penyidikan), tidak adanya jaksa ad hoc,  tidak jelasnya format pengadilan yang akan dibentuk, serta kendala-kendala non teknis lainnya.

Berangkat dari tiga hal di atas, melalui tulisan singkat ini akan coba dijelaskan bagaimanakah sebenarnya posisi serta relevansi keberadaan PP ini dalam konteks pembaruan di bidang perdilan yang saat ini sedang berjalan, mampukah pengadilan perikanan menjadi sebuah terobosan, serta persoalan apa saja yang perlu mendapat perhatian.

Proses pembaruan yang mandek

Belum lama ini DPR dan Pemerintah telah mensahkan UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (mengganti UU No. 14 tahun 1970), UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mengundangkan UU tentang Perubahan atas UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan UU tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.  Sedangkan RUU tentang Komisi Yudisial sampai saat ini masih dibahas di DPR. Pengesahan keempat UU di bidang peradilan tersebut terutama dimaksudkan untuk mempercepat proses pengalihan wewenang departemen untuk mengelola aspek administrasi, organisasi dan keuangan pengadilan kepada Mahkamah Agung, atau lebih dikenal dengan penyatuatapan pengelolaan pengadilan. Meski sebagian kalangan menaruh harapan terhadap proses pembaruan ini, faktanya hal ini juga  tidak sedikit menuang kritik.

Rifqi Sjarief Assegaf dalam tulisannya, Perubahan UU Bidang Peradilan: Lelucon Yang Tidak Lucu (Parlemen.net: 4 Juni 2004) menyatakan bahwa substansi dari keempat UU baru tersebut masih belum menyentuh kelemahan-kelemahan yang ada dalam  UU lama.  Di samping itu, ternyata banyak kejanggalan dan kekacauan berpikir dalam substansi yang diatur UU tersebut, misalnya ketidakjelasan konsep dan arah pembaruan peradilan yang ingin dituju, penempatan kembali hakim sebagai pegawai negeri sipil, pembengkakan organisasi MA, kemungkinan perpanjangan masa usia pensiun hakim agung tanpa pengaturan yang jelas, makin sulitnya persyaratan untuk menjadi hakim agung non karir dan sebagainya.

Melihat fakta tersebut, tanpa harus mengomentari apa yang dikemukakan oleh Rifqi Sjarief Assegaf di atas,  rasanya kita sudah cukup memperoleh gambaran, bahwa proses pembaruan dunia peradilan masih belum memenuhi harapan banyak kalangan, yaitu membangun pengadilan yang independen, bersih, kompeten, cepat, sederhana dan biaya ringan. Kalau demikian adanya, lantas apa yang bisa kita harapkan? Di tengah kemandekan inilah tampaknya masih ada sedikit ”ruang” bagi peradilan-peradilan khusus seperti PP untuk memberikan andilnya. Dengan kata lain, dalam konteks ini kita mencoba memahami  kehadiran PP sebagai sebuah ”jalan alternatif” menuju bangunan  peradilan yang ideal seperti yang kita cita-citakan.

Semangat Pembentukan Pengadilan Khusus Perikanan

Kembali pada pokok pebicaraan kita mengenai pembentukan Pengadilan Perikanan, ide pembentukan lembaga-lembaga peradilan khusus seperti halnya PP ini, pada dasarnya dialndasi oleh semangat untuk mengatasi krisis “ketidakberdayaan” lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum. Proses hukum yang ada dinilai jauh dari asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Alasan yang tak kalah penting adalah dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, serta  semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum, terutama di bidang-bidang yang sangat spesifik seperti korupsi, lingkungan hidup, tata niaga, pajak, profesi kedokteran, perikanan, dll, dibutuhkan suatu lembaga peradilan yang lebih profesional yang didukung oleh SDM yang benar-benar menguasi persoalan-persoalan khusus tersebut.

Dasar-dasar pertimbangan di atas berlaku pula pada di bidang perikanan. Penanganan kasus-kasus perikanan selama ini dinilai tidak berjalan secara optimal. Kita bisa melihat bagaimana instansi-instansi yang terkait dengan penegakan hukum di bidang perikanan tidak berjalan secara sinergis, bahkan cenderung berebut dan bersaing sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Lihat saja misalnya kasus pelepasan 6 kapal ikan Thailand berikut 250 anak buah kapal (ABK)-nya di Pontianak setahun yang lalu, padahal jelas-jelas kapal asing tersebut tertangkap sedang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Alasannya pun tidak masuk akal, karena pemerintah kesulitan memenuhi kebutuhan makan mereka serta dikhawatir kan ABK yang ditahan menularkan penyakit HIV/AIDS (Harian Kompas, 19 Februari 2003). Persoalan tersebut semakin diperburuk dengan banyaknya putusan-putusan pengadilan yang jauh dari rasa keadilan masyarakat. Contohnya   putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara  yang menyidangkan kasus pencurian ikan oleh 2 kapal ikan Thailand. Kedua kapal ilegal itu hanya didenda masing-masing Rp 10 juta serta Rp 15 juta per unit, sedangkan kapal yang disita dilepaskan lagi (Harian Kompas, 1 Oktober 2003). Kasus serupa terjadi di Pengadilan Negeri Gresik, dimana kasus pencurian ikan oleh kapal asing hanya di divonis bebas dan dikenai biaya perkara Rp. 1.000,-.

Di samping Kasus-kasus di atas, sebenarnya masih banyak kasus lain yang dapat kita lihat di media-media masa. Hal ini menunjukan kepada kita betapa penanganan terhadap kasus-kasus perikanan di Indonesia sangat memperihatinkan. Padahal akibat lumpuhnya penegakan hukum di bidang perikanan ini telah mengakibatkan kerugian besar bagi negara. Kerugian akibat pencurian ikan di perairan Indonesia diperkirakan berkisar 1 juta sampai 1,5 juta ton per tahun, atau setara dengan dua miliar dollar AS sampai empat miliar dollar AS (Rokhmin Dahuri:2003). Kerugian tersebut belum termasuk kerusakan biota laut sebagai akibat dari penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau dan berbagai alat tangkap berteknologi canggih lainnya. Berangkat dari kenyataan itulah, kemudian banyak kalangan mulai menyuarakan perlunya dibentuk Pengadilan Perikanan.

Mampukah Pengadilan Perikanan menjadi terobosan?

Inilah persoalannya. Setelah kini ada landasan hukum bagi pembentukan PP, tidak serta merta pesoalan menjadi selesai. Kalau kita cermati ketentuan-ketentuan dalam UU No. 31/2004, khususnya Bab XIII tentang Pengadilan Perikanan, ternyata masih banyak hal yang harus dibenahi sebelum lembaga baru ini benar-benar dibentuk dua tahun ke depan.  Menurut hemat saya, paling tidak ada tiga persoalan pokok yang perlu mendapat perhatian serius.

Pertama, adanya kelamahan-kelamahan pada hukum acara.  Hukum acara PP mematok waktu cukup singkat, yaitu 160 hari untuk penyelesaikan  suatu perkara mulai dari penyidikan sampai putusan MA. Waktu yang cukup singkat dibanding standar KUHAP yang untuk penyelesaian perkara tingkat pertama saja butuh waktu tiga kali lebih lama.  Persoalannya, jangka waktu yang sedemikian singkat itu akan berbenturan dengan kondisi rill di lapangan, khususnya berkenan dengan jalur beracara yang harus dilalui. Acara pemeriksaan di PP mengenal tiga tahapan, yaitu pemeriksaan tingkat pertama (PP), tingkat banding (PT) dan kasasi (MA). Untuk tiap tahapan tersebut dialokasikan waktu masing-masing 30 hari. Di tingkat pertama (PP) – dengan dukungan SDM yang memadai serta khusus hanya menangani perkara-perkara perikanan – mungkin tenggang waktu 30 hari cukup memadai,  tapi bagaimana halnya dengan PT dan MA? Cukupkah waktu 30 hari? Faktanya perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload. Kelemahan mekanisme ini sebenarnya terkait dengan tidak adanya mekanisme pembatasan terhadap perkara-perkara yang akan diajukan bading/kasasi. Disamping itu, tidak adanya hakim ad hoc di tingkat banding dan kasasi juga akan berpengaruh terhadap kemampuan dab kesigapan  penanganan perkara di kedua tingkat peradilan ini.

 Selain tidak adanya hakim ad hoc di tingkat banding/kasasi, dalam PP juga tidak dikenal jaksa ad hoc. Padahal keberadaan jaksa ad hoc ini sebenarnya sangat penting, sebab bagaimanapun jaksalah yang akan membedah dan membuktikan suatu perkara di pengadilan. Kenyataannya, banyak kasus yang lolos di pengadilan bukan hanya disebabkan oleh hakim yang tidak begitu memahami perkara perikanan, tapi karena ketidakmampuan jaksa dalam membuktikan tindak pidana di bidang perikanan tersebut.

Hal lain yang tak kalah penting adalah mengenai alat bukti yang masih mengacu pada KUHAP. Padahal dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, alat bukti yang diatur dalam KUHAP sudah tidak memadai lagi. Di bidang perikanan data dan informasi hasil pengawasan melalui Vessel Monitoring System (VMS) — yang saat ini sedang digalakan di Indonesia– sebenarnya  sangat penting bagi proses pembuktian. Namun sayangnya hal itu justru tidak dimasukan sebagai salah satu alat bukti.

         Kedua, tidak adanya mekanisme koordinasi, khususnya pada tingkat penyidikan. Penyidik di bidang perikanan terdiri darai PPNS, TNI AL, dan Kepolisian. Institusi tersebut sama-sama mempunyai dasar hukum atas kewenangannya sebagai penyidik di laut. Persoalannya, dalam praktek di lapangan koordinasi diantara instansi tersebut sangat lemah. Seperti pada kasus-kasus yang telah dikemukakan di atas, akibat kuatnya ego dan kepentingan  diantara mereka, proses penyidikan tindak-tindak pidana di bidang perikanan menjadi kurang optimal. Lalu bagaimana UU 31/2004 mengatur hal itu? Ternyata dalam UU 31/2004 nyaris tidak ada sesuatu yang baru yang diharapkan dapat mengatasi persoalan lemahnya koordinasi tersebut. Diposisikannya PPNS sejajar dengan TNI AL dan Kepolisian sebagai penyidik, serta diberikannya kewenangan kepada Menteri untuk membentuk forum  koordinasi bagi kepentingan penyidikan di tingkat daerah, belum memberikan solusi nyata bagi persoalan tersebut. Apalagi forum koordinasi tersebut nota bene dibentuk pada tingkat menteri, sedangkan Bakorkamla yang sudah lama eksis dan dibentuk dengan Surat Keputusan Bersama (SKP) saja nyaris tidak bisa berbuat apa-apa.

Ketiga, banyaknya hal-hal teknis yang belum diatur, khususnya terkait dengan format pengadilan yang akan dibentuk, seperti: bagaimana susunan PP tersebut (pimpinan, hakim anggota, sekretaris, panitera, dll), apa tugas dari masing-masing perangkat pengadilan tersebut, siapa yang menjadi hakim ketua, bagaimana mekanisme pengangkatan dan pemberhentian hakim (ad hoc), berapa lama masa jabatan hakim (ad hoc), apa saja persyaratan untuk diangkat menjadi hakim (ad hoc), apakah semua perkara harus diputus oleh Majelis (tiga orang hakim) atau dapat oleh hakim tunggal untuk perkara-perkara yang ringan, dan bagaimana mekanisme pembinaan dan pengawasan terhadap pengadilan ini. Hal-hal tersebut sama sekali tidak diatur dalam UU 31/2004. Hal ini dikhawatirkan  sedikit banyak akan menjadi hambatan bagi PP dalam menjalankan fungsinya nanti.

Tentang tidak adanya mekanisme pembinaan dan pengawasan, hal ini sebenarnya sangat fatal, sebab realisasi pembinaan dan pengawasan terhadap badan peradilan sangat  diperlukan guna menjamin terwujudnya  penegakan hukum yang benar-benar memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Demikian pula tidak adanya pengaturan mengenai persyaratan untuk diangkat menjadi hakim PP, menyebabkan tidak jelasnya standar kualifikasi bagi hakim-hakim yang akan diangkat. Kita semua menyadari, sebaik apapun aturan hukum dibuat,  namun yang lebih menjamin keberhasilannya nanti adalah sejauh mana integritas moral yang dimiliki oleh hakim-hakim PP dalam membedah kasus-kasus di pengadilan. Dari optik sosiologis, undang-undang itu hanya ”benda mati”, yang hidup, jika ”dihidupkan” oleh para penegak hukum. Seharusnya para penyusun UU dapat  mengambil  pelajaran dari ucapan Prof. Teverne: “berikan kepada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan undang-undang yang buruk  saya dapat memberikan putusan yang bagus”.

       Pada akhirnya kita semua menyadari, mampu atau tidaknya lembaga peradilan ini memberi andil positif bagi pembangunan dunia peradilan kita,   akan sangat tergantung pada sejauh mana keseriusan semua pihak untuk mempersiapkan lembaga peradilan ini, termasuk mencari jalan keluar untuk meminimalisir kelemahan-kelamahan yang ada padanya.

Perbandingan UU Nomor 9 Tahun 1985 dengan UU Nomor 31 Tahun 2004

hukum

UU Nomor 9 Tahun 1985

Tanah air Indonesia yang sebagian besar terdiri dari perairan, mengandung sumber daya ikan yang sangat tinggi tingkat kesuburannya dan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, sejak dulu kala dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia secara turun temurun, Dengan telah disahkannya rejim hukum Zona Ekonomi Eksklusif dalam lingkup hukum laut internasional yang baru, maka sumber daya ikan milik bangsa Indonesia menjadi bertambah besar jumlahnya dan sangat potensial untuk menunjang upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat.

Sumber daya ikan seperti di atas, dipadukan dengan nelayan dan petani ikan yang sangat besar jumlahnya, merupakan modal dasar pembangunan nasional yang sangat penting artinya. Dalam mencapai tujuan pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, bidang perikanan harus mampu ikut serta mewujudkan kekuatan ekonomi sebagai upaya meningkatkan ketahanan nasional.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan ini merupakan landasan konstitusional dan sekaligus arah bagi pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan sumber daya ikan. Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan Negara atas sumber daya ikan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak dan oleh karenanya pemanfaatan sumber daya ikan harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan, sekaligus memperbaiki kehidupan nelayan dan petani ikan kecil serta memajukan desa-desa pantai. Berpegang kepada pikiran dasar ini, maka perlu diambil langkah-langkah agar para nelayan dan petani ikan yang sampai saat ini masih termasuk golongan yang sangat rendah pendapatannya memperoleh kesempatan cukup untuk meningkatkan kesejahteraannya. Amanat bahwa kekayaan alam Indonesia harus dipergunakn untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam Pasal 33 tersebut mengandung pula arti, bahwa pemanfaatan sumber daya ikan tidak sekedar ditujukan untuk kepentingan kelompok masyarakat yang secara langsung melakukan kegiatan di bidang perikanan, tetapi juga harus memberi manfaat sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia secara keseluruhan. Dengan bertolak dari pemikiran dasar tentang masalah keadilan dan pemerataan tadi, dirasakan perlunya usaha-usaha untuk mewujudkan penyediaan ikan dalam jumlah yang memadai sebagai upaya mencukupi gizi masyarakat dengan harga yang layak.

Pasal 33 juga mengandung cita-cita bangsa, bahwa pemanfaatan sumber daya ikan harus dapat dilakukan secara terus menerus bagi kemakmuran rakyat. Sejalan dengan itu, sudah semestinya bila pengelolaan dan pemanfaatannya diatur secara mantap, sehingga mampu menjamin arah dan kelangsungan serta kelestarian pemanfaatannya dapat berlangsung seiring dengan tujuan pembangunan nasional.

Sumber daya ikan memang memiliki daya pulih kembali (“renewable”), walaupun hal itu tidak pula berarti tak terbatas. Oleh karena itu apabila pemanfaatannya dilakukan secara bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumber daya ikan, misalnya sampai melebihi potensi yang tersedia, atau dengan menggunakan alat yang dapat merusak sumber daya ikan dan/atau lingkungan, tentu akan berakibat terjadinya kepunahan. Terancamnya kelestarian sumber daya ikan dapat pula disebabkan oleh kegiatan-kegiatan lain, misalnya pelayaran, pertambangan, penempatan kabel laut, pembuangan sampah industri, penebangan hutan bakau bahkan juga peristiwa alam, kesemuanya ini secara potensial dapat menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan. Sehubungan dengan itu, pembinaan kelestarian sumber daya ikan merupakan masalah yang sangat penting dan harus dilaksanakan segara terpadu dan terarah. Dalam hubungan inilah maka perlu diambil langkah-langkah untuk mengatur segi-segi kelestarian serta pengawasannya. Hal yang sangat penting dan erat sekali kaitannya dengan masalah perikanan ini, adalah wilayah perikanan itu sendiri. Oleh karenanya, keterkaitan Undang-undang ini terutama dengan Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, serta pelaksanaan konsep negara kepulauan (“archipelagic state concept“) sebagaimana diakui dalam hukum laut intemasional yang baru bersifat mutlak. Sebab di dalam wilayah perairan itulah jangkauan pengaturan Undang-undang ini berlangsung dan diberlakukan.

Kenyataan bahwa sumber daya ikan yang menjadi milik Bangsa Indonesia semakin bertambah besar, perlu diimbangi usaha-usaha pemanfaatan yang memadai berasaskan kekeluargaan dan berdasarkan demokrasi ekonomi. Untuk itu peranan dan perkembangan koperasi, badan usaha milik negara dan swasta di bidang perikanan perlu ditingkatkan secara wajar dan terarah serta serasi.

Karena untuk mencapai tingkat pemanfaatan yang optimal memang dibutuhkan permodalan yang cukup besar, teknologi yang tepat guna dan tenaga kerja yang memadai, maka pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan yang terdapat di perairan laut yang demikian luasnya, memerlukan sistem pengawasan dan pengamanan yang memadai. Untuk itu Pemerintah perlu memberikan perhatian yang cukup di bidang ini.

Dari pada itu, peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang berlaku sebagian besar masih berasal dari zaman Hindia Belanda. Selain berbeda dalam pemikiran dasar, peraturan-peraturan itupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan. Sehubungan dengan hal-hal di atas, maka dipandang perlu untuk mengatur perikanan dengan Undang-undang.

UU Nomor 31 Tahun 2004

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besamya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional.

Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia meiniliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonoini ekskiusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.

Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonoinian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin ektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, keinitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.

Untuk menjainin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang penkanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. OIeh karena itu, adanya kepastian hukum merupakaan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-Undang ini Iebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan deinikian perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex spec/ails). Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalaini berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum materlil dan hukum formil. Untuk menjainin kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas, sehingga dalam Undang-Undang ini rumusan mengenai hukum acara (formil) bersifat lebih cepat.

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Namun deinikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka pengadilan perikanan yang telah dibentuk tersebut, barn melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku. Pengadilan perikanan tersebut bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc.

Mengingat perkembangan perikanan saat ini dan yang akan datang, maka Undang-Undang ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan:

  1. pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan;
  2. pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan keterpaduan pengendaliannya; 
  3. pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;
  4. pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan pengembangan perikanan serta pengendalian yang terpadu; 
  5. pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan di bidang perikanan; 
  6. pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana perikanan serta sistim informasi dan data statistik perikanan;
  7. penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran perikanan, dan kapal perikanan;
  8. pengelolaan perikanan yang didorong untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan kelautan dan perikanan;
  9. pengelolaan perikanan dengan tetap memperhatikan dan memberdayakan nelayan kecil atau pembudi daya-ikan kecil;
  10. pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona ekonoini eksklusif Indonesia, dan laut lepas yang ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan persyaratan atau standar internasional yang berlaku;
  11. pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan, baik yang berada di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun laut lepas dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan intemasional sesuai dengan kemampuan sumber daya ikan yang tersedia; 
  12. pengawasan perikanan; 
  13. pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di bidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira TNI-AL dan pejabat polisi negara Republik Indonesia; 
  14. pembentukan pengadilan perikanan; dan 
  15. pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-Undang ini merupakan pembaharuan dan penyempurnaan pengaturan di bidang perikanan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.

Konsep Sumberdaya Perikanan dan Kelautan

Konsep Sumberdaya Perikanan

  1. Menurut Aryanto (2006), sumberdaya perikanan adalah merupakan hasil kekayaan laut yang memiliki potensi besar untuk menambah devisa negara.
  2. Menurut Fauzi dan Anna (2005), sumberdaya perikanan adalah aset yang dapat bertambah dan berkurang secara alamiah ataupun secara intervensi manusia. Seluruh dinamika alam dan intervensi manusia ini mempengaruhi baik langsung ataupun tidak langsung terhadap sumberdaya perikanan tersebut sepanjang waktu. (Hal 291)
  3. Menurut Fauzi dan Anna (2005), sumberdaya perikanan adalah sumberdaya yang bersifat dinamis demikian juga gangguan terhadap keseimbangan sistem yang terjadi pada sumberdaya tersebut baik berupa hubungan langsung antara catch dan effort maupun hubungan tidak langsung antara catch dan effort dan pencemaran merupakan suatu sistem yang bersifat dinamis.

Konsep Sumberdaya Kelautan

  1. Menurut Kianun Provinsi NAD No 16 Tahun 2002, sumberdaya kelautan adalah segala unsur kelautan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, mencakup sumberdaya energi kelautan, sumberdaya hayati kelautan, sumberdaya non hayati lainnya.
  2. Menurut Widi A. Pratikto (2004), sumberdaya kelautan adalah kekayaan alam yang amat potensial dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang efektif dan modal dasar dalam pembangunan bangsa Indonesia yang diharapkan dapat mensejahterakan penduduknya.
  3. Menurut Arif (2002), sumberdaya kelautan adalah suatu jenis sumberdaya yang lebih mengarah pada pemilikan yang dibawah kontrol penguasa (pemerintah) atau lebih megarah pada sifat sumberdaya yang Public Domain.

Defenisi Sumberdaya Ikan

  1. Menurut UU RI Nomor 31 Tahun 2004, sumberdaya ikan adalah potensi semua jenis ikan.
  2. Menurut FAO, (2002) sumberdaya ikan adalah organisme laut yang terdiri dari ikan (finfish), binatang berkulit keras (krustasea) seperti udang dan kepiting, moluska seperti cumi dan gurita, binatang air lainnya seperti penyu dan paus, rumput laut serta lamun laut.
  3. Menurut Insidewinme (2008), sumberdaya ikan adalah merupakan salah satu sumberdaya kelautan dan perikanan yang tergolong dalam sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), artinya jika sumberdaya ini dimanfaatkan sebagian, sisa ikan yang tertinggal mempunyai kemampuan untuk memperbaharui dirinya dengan berkembang biak.
  4. Menurut Depperik (2003), sumberdaya ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lain (pisces, crustacea, mollusca, colenterata, amphibia, reptilian, mamalia).

Koperasi Perikanan

Berdasarkan PP 60 tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi bahwa perlu menyesuaikan fungsi koperasi sebagaimana dalam pokok-pokoknya diatur dalam Undang-undang Koperasi dengan jiwa semangat Undang-undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Presiden Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi harus diberi peranan sedemikian rupa sehingga gerakan serta penyelenggaraannya benar-benar dapat merupakan:

  1. alat untuk melaksanakan ekonomi terpimpin berdasarkan sosialisme ala Indonesia;
  2. sendi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia,
  3. dasar untuk mengatur perekonomian rakyat guna mencapai taraf hidup yang layak dalam susunan masyarakat adil dan makmur yang demokratis,

Pemerintah wajib mengambil sikap yang aktip dalam membina Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas Demokrasi Terpimpin dan perlu diadakan Peraturan Pemerintah untuk menyesuaikan pelaksanaan Undang-undang Koperasi dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Presiden Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959, untuk menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi perkembangan Gerakan Koperasi; sehingga terjamin, terpelihara dan terpupuknya dinamika baik dikalangan masyarakat sendiri maupun dalam kalangan petugas negara, serta terselenggaranya koperasi secara serentak, intensip, berencana dan terpimpin.

Berdasarkan PP 60 tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi bagian II tentang penjenisan koperasi yang merupakan pembedaan koperasi yang didasarkan pada golongan dan fungsi ekonomi. Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi ditekankan pada lapangan usaha dan tempat tinggal para anggota sesuatu koperasi. Pada pasal 3 peraturan ini mengutamakan diadakannya jenis-jenis koperasi sebagai berikut:

  1. Koperasi Desa
  2. Koperasi Pertanian
  3. Koperasi Peternakan
  4. Koperasi Perikanan
  5. Koperasi Kerajinan/Industri
  6. Koperasi Simpanan Pinjam

Yang dimaksud Koperasi Perikanan ialah koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari pengusaha-pengusaha pemilik alat perikanan, buruh/nelayan yang kepentingan serta mata pencahariannya langsung berhubungan dengan usaha perikanan yang bersangkutan dan menjalankan usaha-usaha yang ada sangkut-pautnya secara langsung dengan usaha perikanan mulai dari produksi, pengolahan sampai pada pembelian atau penjualan bersama hasil-hasil usaha perikanan yang bersangkutan.

Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945 perlu segera menyesuaikan kebijaksanaan Pemerintah dalam melaksanakan Undang-undang Koperasi dengan jiwa dari pada Undang-undang Dasar tersebut serta cita-cita yang terkandung dalam Manifesto Politik Presiden Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959. Pemerintah menyadari bahwa Undang-undang Koperasi yang berlaku sekarang perlu disempurnakan, namun perkembangan masyarakat pada umumnya dan Gerakan Koperasi pada khususnya sedemikian pesatnya sehingga Pemerintah perlu mengambil tindakan-tindakan yang cepat agar pelaksanaan Undang-undang Koperasi dapat berjalan sesuai dengan haluan Pemerintah. Sesuai dengan jiwa pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, maka koperasi mengambil peranan yang penting sekali sebagai dasar utama untuk mengatur perekonomian rakyat dan selain dari pada itu, Pemerintah memberikan peranan sedemikian rupa sehingga koperasi benar-benar dapat merupakan alat untuk melenyapkan kapitalisme dari bumi dan kehidupan bangsa Indonesia. Dengan menyerahkan saja penyelenggaraan koperasi kepada inisiatip Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang ini bukan tidak mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan liberalisme tetapi juga tidak terjamin bentuk organisasi dan cara bekerja yang sehat sesuai dengan azas-azas koperasi yang sebenarnya. Kemajuan-kemajuan yang terlihat didalam statistik tentang angka-angka dan jumlah anggota koperasi, jumlah modal dan sebagainya pada hakekatnya masih terlalu pagi untuk dibanggakan, bila kita lihat kenyataan-kenyataan yang kita hadapi dalam praktek sehari-hari.

Gerakan Koperasi dalam taraf perkembangan sekarang ini jauh belum dapat memenuhi fungsi yang sebenarnya sebagaimana dimaksud didalam pasal 33 Undang-undang 1945 bahkan menunjukkan gejala-gejala yang mempunyai kecenderungan kearah kemerosotan fungsi koperasi dan penyalah-gunaan bentuk usaha koperasi untuk mencari keuntungan bagi segelintir manusia sehingga kepercayaan rakyat terutama didesa-desa semakin lama semakin berkurang terhadap koperasi. Untuk mencegah berlarut-larutnya keadaan. Pemerintah perlu segera mengambil tindakan cepat yang sejauh mungkin berpedoman pada ketentuan-ketentuan didalam Undang-undang Koperasi sepanjang ketentuan-ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan jiwa serta semangat Undang-undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Presiden Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959. Berhubung dengan mendesaknya waktu, dalam Peraturan Pemerintah ini belum diatur seluruh materi dari pada Undang-undang Koperasi dan persoalan-persoalan yang timbul dalam praktek dan hanya membatasi pada persoalan-persoalan yang dianggap penting dan mendesak untuk diatur oleh Pemerintah. Untuk menampung persoalan-persoalan yang belum diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. Pemerintah akan mengeluarkan Peraturan-peraturan berikutnya sebagai kelanjutan dari Peraturan Pemerintah ini. Yang menjadi pokok-pokok pikiran yang terkandung didalam Peraturan ini ialah sebagai berikut :

  • Azas-azas koperasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Koperasi perlu diberikan jaminan akan ralisasinya didalam raan koperasi.
  • Sikap yang aktip dari Pemerintah,
  • Unsur-unsur demokrasi serta ekonomi terpimpin harus jelas terlihat dalam penyelenggaraan tiap-tiap koperasi.
  • Segenap instansi Pemerintah diikut-sertakan dalam membimbing Gerakan Koperasi menurut bidangnya masing-masing.
  • Terutama dalam lapangan-lapangan usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dan didaerah-daerah bekerja yang merupakan basis perekonomian rakyat diusahakan berdirinya atau ditumbuhkan koperasi oleh Pemerintah bersama-sama dengan rakyat yang bersangkutan.

Dalam pasal tersebut sengaja tidak dipergunakan istilah tidak merupakan konsentrasi modal sebagaimana digunakan dalam perumusan Undang-undang Koperasi untuk mengundang kesulitan didalam menafsirkannya sedang istilah yang dipergunakan ialah “bukan perkumpulan modal” untuk maksud yang sama. Istilah bukan perkumpulan modal diambil dari penjelasan Undang-undang Koperasi dipadang oleh Pemerintah lebih jelas dan tidak mengandung asosiasi pikiran bahwa koperasi telah menganut sesuatu paham golongan dengan tidak mengurangi ketegasan dari pendapat Pemerintah yang berpangkal haluan pada dasar pikiran bahwa koperasi adalah alat utama untuk melenyapkan kapitalisme baik sistimnya maupun ekses-eksesnya.

Mengingat pentingnya peranan koperasi dalam pelaksanaan demokrasi serta ekonomi terpimpin maka harus ada jaminan supaya didalam tubuh organisasi koperasi terdapat kebersihan serta kejujuran dari pada pelaksana-pelaksananya. Untuk ini kecuali kewajiban melaksanakan atas azas koperasi yang dibebankan pada para anggota maka masyarakat didaerah yang bersagkutan perlu memberikan bantuannya. Sesuai dengan sikap Pemerintah yang aktip maka azas keanggotaan koperasi atas dasar suka-rela perlu dijaga agar azas tersebut tidak merupakan pangkal untuk menyelewengkan haluan penyelengggaraan koperasi kearah sistim kapitalisme dan liberalisme. Juga azas gotong-royong mewajibkan semua golongan yang mempunyai peranan dalam proses produksi tertampung atau dapat dimasukkan dalam keanggotaan koperasi.

Oleh karena itu selain ketentuan bahwa yang dapat menjadi anggota sesuai koperasi ialah orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama perlu ditambahkan ketentuan bahwa juga orang-orang yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang satu sama lain ada sangkut-pautnya secara langsung (allied interest) dapat pula menjadi anggota sesuatu koperasi. Dengan demikian dogma pertentangan buruh majikan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia bisa dihindarkan didalam perkumpulan koperasi.

Penjenisan koperasi didasarkan pda golongan serta fungsi ekonomi. akan tetapi untuk memudahkan bagi rakyat penjenisan koperasi menurut peraturan ini ditekankan pada lapangan usaha serta tempat tinggal anggota.. Dengan demikian walapun Peraturan ini didasarkan pada lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggota dengan ketentuan ayat tersebut terbuka kemungkinan bagi masyrakat untuk mengadakan jenis-jenis koperasi yang berdasarkan golongan serta fungsi ekonomi.

Berdasarkan UU No 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan tentang salah satu usaha untuk menuju kearah perwujudan masyarakat sosialis Indonesia pada umumnya, khususnya untuk meningkatkan taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak serta memperbesar produksi ikan, maka pengusahaan perikanan secara bagi-hasil, baik perikanan laut maupun perikanan darat, harus diatur hingga dihilangkan unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan dan semua fihak yang turut serta masing-masing mendapat bagian yang adil dari usaha itu, juga perbaikan daripada syarat-syarat perjanjian bagi-hasil sebagai yang dimaksudkan diatas perlu pula lebih dipergiat usaha pembentukan koperasi-koperasi perikanan, yang anggota-anggotanya terdiri dari semua orang yang turut serta dalam usaha perikanan itu.

Sebagai salah satu usaha menuju ke arah terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia pada umumnya sebenarnya untuk meningkatkan taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak serta memperbesar produksi ikan, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara di dalam Ketetapan No. II./MPRS/1960 dan Resolusinya No. I/MPRS/1963 memerintahkan supaya diadakan Undang- undang yang mengatur soal usaha perikanan yang diselenggarakan dengan perjanjian bagi hasil. Undang-undang ini merupakan realisasi daripada perintah M.P.R.S. tersebut. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 12 ayat 1 Undang- undang Pokok Agraria segala usaha bersama dalam lapangan agraria jadi termasuk juga usaha perikanan, baik perikanan laut maupun perikanan darat haruslah diselenggarakan berdasarkan kepentingan bersama dari semua fihak yang turut serta, yaitu baik nelayan pemilik dan pemilik tambak yang menyediakan kapal/perahu, alat-alat penangkapan ikan dan tambak maupun para nelayan penggarap dan penggarap tambak yang menyumbangkan tenaganya, hingga mereka masing-masing menerima bagian yang adil dari hasil usaha tersebut.

Pengusahaan perikanan atas dasar bagi hasil dewasa ini adalah diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan hukum adat setempat yang menurut ukuran sosialisme Indonesia belum memberikan dan menjadi bagian yang layak bagi para nelayan penggarap dan penggarap tambak. Berhubung dengan itu maka pertama-tama perlu diadakan ketentuan untuk menghilangkan unsur-unsur perjanjian bagi hasil yang bersifat pemerasan,hingga dengan demikian semua pihak yang turut serta dalam usaha itu mendapat bagian yang sesuai dengan jasa yang disumbangkannya. Dengan memberikan jaminan yang sedemikian itu maka di samping perbaikan taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak yang bersangkutan. diharapkan pula timbulnya perangsang yang lebih besar di dalam meningkatkan produksi ikan. Dalam pada itu hal tersebut tidaklah berarti, bahwa kepentingan dari pada pemilik kapal/perahu, alat-alat penangkapan ikan dan tambak akan diabaikan.Usaha perikanan, terutama perikanan laut, memerlukan pemakaian alat-alat yang memerlukan biaya pemeliharaan serta perbaikan dan yang pada waktunya bahkan harus diganti dengan yang baru. Menetapkan imbangan bagian yang terlalu kecil bagi golongan pemilik biasa berakibat, bahwa soal pemeliharaan dan perbaikan serta penggantian alat-alat tersebut akan kurang mendapat perhatian atau diabaikan sama sekali. Hal yang demikian pula berpengaruh tidak baik terhadap produksi ikan pada umumnya. Berhubung dengan itu para pemilik tersebut harus pula mendapat bagian yang layak, dengan pengertian, bahwa dengan demikian ia berkewajiban pula untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

Dalam pada itu perbaikan taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak tidak akan dapat tercapai hanya dengan memperbaiki syarat-syarat perjanjian bagi hasil saja. Untuk itu usaha pembentukan koperasi-koperasi perikanan perlu dipergiat dan lapangan usaha serta keanggotaannya perlu pula diperluas. Keanggotaan koperasi tersebut harus meliputi semua orang yang turut dalam usaha perikanan itu, jadi baik para nelayan penggarap, penggarap tambak, buruh perikanan maupun nelayan pemilik dan pemilik tambak. Lapangan usaha koperasi perikanan hendaknya tidak terbatas pada soal produksi saja, misalnya pembelian kapal-kapal/perahu- perahu dan alat-alat penangkapan ikan, pengolahan hasil ikan serta pemasarannya, tetapi harus juga meliputi soal kredit serta hal-hal yang menyangkut kesejahteraan para anggota dan keluarganya. Misalnya usaha untuk mencukupi keperluan sehari-hari, menyelenggarakan kecelakaan, kematian dan lain-lainnya. Dengan demikian maka mereka itu dapatlah dlepaskan dan dihindarkan dari praktek-praktek para pelepas uang. tengkulak dan lain-lainnya, yang dewasa ini sangat merajalela dikalangan usaha perikanan, terutama perikanan laut.

Menurut hukum adat yang berlaku sekarang ini tidak terdapat keseragaman mengenai imbangan besarnya bagian pemilik pada satu pihak dan para nelayan penggarap serta penggarap tambak pada lain fihak. Perbedaan itu disebabkan selain oleh imbangan antara banyaknya nelayan penggarap dan penggarap tambak pada satu fihak serta kapal/perahu, dan tambak akan dibagi hasilkan pada lain fihak, juga oleh rupa-rupa faktor lainnya Diantaranya ialah penentuan tentang biaya-biaya apa saja menjadi beban bersama dan apa yang dipikul oleh mereka masing-masing. Mengenai perikanan darat di tambak letak, luas keadaan kesuburan tambaknya serta jenis ikan yang dihasilkan merupakan faktor pula yang menentukan imbangan bagian yang dimaksudkan itu. Jika tambaknya subur, maka bagian pemiliknya lebih besar dari pada bagian pemilik tambak yang kurang subur. Mengenai perikanan laut, macam kapal,,perahu dan alat-alat serta cara-cara penangkapan yang dipergunakan merupakan pula faktor yang turut menentukan besarnya imbangan itu. Bagian seorang pemilik kapal motor misalnya, adalah lebih besar imbangan persentasinya. jika dibandingkan dengan bagian seorang pemilik perahu layar. Hal itu disebabkan karena biaya eksploitasi yang harus dikeluarkan oleh pemilik motor itu lebih besar, lagipula hasil penangkapan seluruhnya lebih besar, hingga biarpun imbangan persentasi bagi para nelayan penggarap lebih kecil, tetapi hasil yang diterima sebenarnya oleh mereka masing-masing adalah lebih besar jika dibandingkan dengan hasil para nelayan penggarap yang mempergunakan kapal/perahu layar.

Berhubung dengan itu di dalam Undang-undang ini bagian yang harus diberikan kepada para nelayan penggarap dan penggarap tambak sebagai yang tercantum di dalam pasal 3, ditetapkan atas dasar imbangan di dalam pembagian beban-beban dan biaya-biaya usaha sebagai yang tercantum dalam pasal 4. Di daerah-daerah dimana pembagian beban-beban dan biaya-biaya itu sudah sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam pasal 4, maka tinggal peraturan tentang pembagian hasil sajalah yang harus disesuaikan, yaitu jika menurut kebiasaan setempat bagian para nelayan penggarap atau penggarap tambak masih kurang dari apa yang ditetapkan dalam pasal 3. Jika bagian mereka sudah lebih besar dari pada yang ditetapkan dalam pasal 3, maka aturan yang lebih menguntungkan fihak nelayan penggarap atau penggarap tambak itulah yang harus dipakai (pasal 5 ayat 1).

Dengan pengaturan yang demikian itu maka ketentuan-ketentuan tentang bagi hasil yang dimuat dalam Undang-undang ini dapat segera dijalankan setelah Undang-undang ini mulai berlaku, dengan tidak menutup sama sekali kemungkinan untuk mengadakan penyesuaian dengan keadaan daerah, jika hal itu memang sungguh-sungguh perlu (pasal 5 ayat 2). Mengenai perikanan darat hanya diberi ketentuan-ketentuan tentang penyelenggaraan bagi hasil tambak. yaitu genangan air yang dibuat oleh orang sepanjang pantai untuk memelihara ikan, dengan mendapat pengairan yang teratur. Usaha pemeliharaan ikan di empang-empang air tawar dan lain-lainnya tidak terkena Undang-undang ini oleh karena umumnya tidak dilakukan secara bagi hasil, tetapi dikerjakan sendiri oleh pemiliknya. Kalau ada pemeliharaan yang dilakukan secara bagi hasil maka hal itu mengenai kolam-kolam yang tidak luas. Kalau ada sawah yang dibagi hasilkan dan selain ditanami padi juga diadakan usaha pemeliharaan ikan.

Jika melihat perkembangan koperasi perikanan di Indonesia, harus diakui saat ini menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Dalam pengertian bahwa sebagai salah satu pilar penopang perekonomian Indonesia, keberadaan koperasi sangat kuat dan mendapat tempat tersendiri di kalangan pengguna jasanya. Koperasi telah membuktikan bahwa dirinya mampu bertahan di tengah gempuran badai krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia.

Keberadaan koperasi semakin diperkuat pula dengan dibentuknya Kementerian Negara Koperasi dan UKM yang salah satu-tugasnya adalah mengembangkan koperasi menjadi lebih berdaya guna. Koperasi sangat diharapkan dapat menjadi mitra strategis yang sejajar dengan perusahaan-perusahaan dalam pengembangan perekonomian. Koperasi akan sangat dirasakan manfaatnya apabila dibuat semakin kuat berdasarkan pondasi yang kokoh. Analoginya kegiatan produksi dan konsumsi yang jika dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, maka melalui koperasi yang telah mendapatkan mandat dari anggota-anggotanya hal tersebut dapat dilakukan dengan hasil maksimal yang terukur. Dengan kata lain, kepentingan ekonomi rakyat, terutama kelompok masyarakat ekonomi kelas bawah (misalnya petani, nelayan, pedagang kaki lima) akan relatif lebih mudah diperjuangkan kepentingan ekonominya melalui wadah koperasi.

Namun demikian, kenyataan membuktikan bahwa koperasi baru manis dikonsep tetapi sangat pahit perjuangannya di lapangan. Tidak bisa tidak, pengembangan koperasi barulah sebatas konsep yang indah, namun sangat sulit untuk diimplementasikan. Semakin banyak koperasi yang tumbuh semakin banyak pula yang tidak aktif. Bahkan ada koperasi yang memiliki badan hukum, namun kehadirannya tidak membawa manfaat sama sekali. Tentu saja hal ini sangat disayangkan.

Koperasi tidak mungkin tumbuh dan berkembang dengan berpegang pada tata kelola yang tradisonal dan tidak berorientasi pada pemuasan keperluan dan keinginan konsumen. Koperasi perlu diarahkan pada prinsip pengelolaan secara modern dan aplikatif terhadap perkembangan zaman yang semakin maju dan tantangan yang semakin global.

Mangrove

Gambar

Defenisi tentang asal kata “mangrove” tidak diketahui secara jelas, tetapi Macnae (1968) dalam Ferdinandus (2002) menyebutkan bahwa kata mangrove merupakan perpaduan dari bahasa Portugis yaitu “mangue” dan bahasa Inggris yaitu “grove” yang digunakan baik untuk individu jenis tumbuhan maupun untuk komunitas hutan pada habitat pantai.

Istilah mangrove sering digunakan untuk dua konsep yang berbeda. Pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut) dan kedua sebagai individu spesies yang tumbuh pada daerah payau. Agar tidak rancuh, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan (Macnae, 1968).

Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas yang terdapat di sepanjang pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Hutan mangrove sering disebut pula hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Untuk menghindari kekeliruan perlu diperjelas bahwa istilah bakau hanya digunakan untuk jenis-jenis tumbuhan tertentu saja yaitu marga Rhizophora, sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas ini. Oleh karena itu, hutan mangrove sudah ditetapkan sebagai nama baku untuk hutan ini (Nontji, 1993).

Hutan mangrove ditemukan tumbuh di sepanjang pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besat dan arus pasang surut yang kuat. Gelombang yang besar dan arus pasang surut yang kuat tidak memungkinkan terjadinya pengendapan sedimen yang diperlukan sebagai substrat bagi tumbuhan mangrove. Komunitas hutan mangrove terbentuk karena adanya endapan lumpur yang berasal dari adanya larutan endapan lumpur alluvial dari muara sungai terdekat pada komunitas tersebut dan bukan karena adanya komunitas mangrove sehingga menyebabkan terjadinya endapan lumpur di daerah tersebut (Ferdinandus, 2002).

Soerianegara dan Indrawan (1980) menyebutkan cirri-ciri hutan mangrove adalah sebagai berikut:

  • Tidak dipengaruhi iklim
  • Dipengaruhi oleh pasang surut
  • Tanah tergenang air laut, tanah lumpur atau pasir, terutama tanah liat
  • Hutan mangrove tidak mengenal adanya strata tajuk
  • Miskin akan jenis vegetasi

Ciri khas lain dari hutan mangrove adalah umumnya memiliki buah vivipari, yakni buah yang berkecambah sebelum jatuh ke permukaan air/tanah (terutama jenis Rhizophora).

Tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti ini, maka beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan gara, dari system jaringannya serta yang lain mengembangkan system akar nafas untuk memperoleh oksigen bagi system perakarannya (Ferdinandus, 2003).

Walaupun spesies mangrove dapat tumbuh pada salinitas yang ekstrem atau sangat tinggi, namun biasanya pertumbuhannya kurang baik atau pendek-pendek, bahkan beberapa spesies ada yang tidak tahan pada salinitas yang tinggi (Supriharyono, 2000).

Diperkirakan terdapat sekitar 89 spesies mangrove yang tumbuh di dunia, yang terdiri dari 31 genus dan 22 famili. Di Indonesia diperkirakan ada sekitar 38 spesies tumbuhan mangrove yang hidup dan tersebar pada beberapa daerah seperti Aceh, Riau, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (Supriharyono, 2000).

Beberapa jenis mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizophora spp), api-api (Avicennia spp), pedada (Sonneratia spp), tancang (Bruguiera spp), nyirih (Xylocarpus spp), tengar (Ceriops spp) dan buta-buta (Exoecaria spp).

Keberadaan hutan mangrove mempunyai fungsi dan peranan yang penting sebagai penyangga kehidupan di kawasan pantai dengan ekosistem laut. Adapun fungsi hutan mangrove sebagai berikut:

  • Fungsi Fisik :
  1. Membentuk/menaga garis pantai
  2. Melindungi pantai dari abrasi
  3. Menahan laju tiupan angin yang kencang
  4. Meredam lajunya ombak
  5. Merangkap sedimen
  6. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi air laut ke darat
  • Fungsi Kimia :
  1. Proses penyerapan CO2
  2. Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan O2
  3. Penambah unsur hara
  4. Mencegah terjadinya keasaman tanah
  • Fungsi Biologi :
  1. Sebagai penghasil bahan pelapukan (detritis)
  2. Sebagai tempat pemijahan (spawing ground) dan asuhan (nursery ground)
  3. Sebagai tempat bersarang burung
  4. Sebagai sumber plasma nutfah
  5. Sebagai habiat alami bagi berbagai jenis biota
  6. Membentuk keseimbangan ekologis
  7. Sebagai tempat makan (feeding ground)
  • Secara ekonomi kawasan mangrove merupakan sumber devisa negara :
  1. Penghasil kayu (kayu bakar, arang, dan bahan bangunan)
  2. Penghasil bahan baku industri (kertas, makanan, dll)
  3. Penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung, madu (breeding ground)
  • Sebagai wanawisata :
  1. Sarana rekreasi
  2. Sebagai tempat pendidikan, onservasi dan penelitian

Pembagian zona mangrove berdasarkan perbedaan penggenangan:

  1. Zona proksimal, yaitu zona yang terdekat dengan laut. Pada zona ini biasanya ditemukan jenis-jenis : Soneratia alba, Avicenia marina, Rhizophora apiculata, R. mucronata, dll.
  2. Zona midle, zona yang terletak diantara laut dan darat. Pada zona ini biasanya ditemukan : Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, dll.
  3. Zona distal, yaitu zona yang terjauh dari laut. Pada zona ni biasanya ditemukan : Hibiscus tiliaceus, Nypah fruticans.

Pembagian zona berdasaran vegetasi yang mendominasi :

  1. Zona Avicenia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove, memiliki substrat berlumpur, lembek dengan kadar garam yang tinggi. Biasanya ditemukan berasosiasi dengan jenis soneratia. Jenis ini memilii peraaran yang sangat kuat dan dapat bertahan dari hempasan ombak. Zona ini merupakan zoa perintis/pioner karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkraman perakaran tumbuhan jenis ini.
  2. Zona Rhizophora, terletak dibelakang zona avicenia dan sonaratia. Pada zona ini tanah berlumpur, lembek dengan kadar garam lebih rendah. Perakaran tetap terendam selama air pasang.
  3. Zona Bruguiera, terletak dibelakangzona rhizophora. Pada zona ini tanah berlumpur agak keras. Perakaran hanya terendam pada saat pasang naik dua kali sebulan.
  4. Zona Nypah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan. Zona ini ada jika ada air tawar (sungai) yang mengalir ke laut.

Jenis-jenis perakaran mangrove :

  1. Akar tunjang, yaitu akar yang mencuat dari batang, bercabang-cabang kebawah permukaan lumpur, menggantung bagaikan busur panah (Rhizophora Sp).
  2. Akar pasak/akar tunggak, yakni akar yang tumbuh terpencar dengan anak-anak akar muncul ke permukaan substrat bagaikan tombak (Soneratia, Avicenia).
  3. Akar lutut, yakni akar yang tumbuh mendatar dan bergelombang diatas dan dibawah permukaan substrat (Bruguiera, Ceriops)

Fungsi perakaran mangrove :

  1. Fungsi pernapasan
  2. Fungsi penyebaran dan perambatan
  3. Komponen kabel

Faktor lingkungan :

  1. Temperatur
  2. Garis pantai yang terlindung
  3. Arus
  4. Tipe substrat
  5. Salinitas
  6. Kisaran pasut
  7. Eksploitasi hutan
  8. Konversi menjadi lahan pertanian
  9. Tumpahan/enceran minyak.

Halimeda opuntia

Gambar

Klasifikasi :

Kingdom : Plantae
Divisi : Chlorophyta
Class : Bryyopsidophyceae
Order : Bryopsidales
Family : Halimedaceae
Genus : Halimeda
Species : opuntia

Deskripsi morfologi:

Halimeda opuntia merupakan jenis alga hijau dengan tinggi thallus 8 cm, yang sangat kaku dan berbentuk seperti ginjal yang bercabang, berlekuk tiga atau tumpang tindih dan tidak teratur. Dengan lebar 0,7 cm serta tinggi 0,5 cm. Helimeda opuntia banyak di jumpai pada daerah terumbu karang yang kondisi pantainya tenang dan agak terlindung, hidup membuat koloni atau berkelompok dan mempunyai perekat berupa rhizoid yang tersebar dan membungkus segmen. Jenis ini terdapat dibawah air surut rata-rata pada pasut bulan-setengah pada pantai berbatu dan paparan terumbu.

Ciri famili secara umum:

Halimedaceae merupakan alga berkapur dan menjadi salah satu penyumbang endapan kapur di laut, terutama di daerah tropik. Halimedaceae lentur dan dapat bergerak-gerak dalam air jika air bergerak. Terdapat di mintakat litoral bagian atas, khususnya dibelahan bawah dari mintakat pasut, dan tepat di daerah bawah-pasut sampai kejelukan 10 meter.

PARIWISATA

Pariwisata

Menurut Oka A. Yoeti kata Pariwisata merupakan sinomin dari kata “tour” yang memiliki makna yaitu pejalanan. Sedangkan menurut Marpaung Happy, (2000 : 1) Pariwisata adalah perpindahan sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan keluar dari pekerjaan rutin, keluar dari tempat kediamannya.

Menurut definisi yang lebih luas pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan oleh perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagian dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu.

“Pada hakikatnya pariwisata adalah suatu proses bepergian sementara dari seseorang atau lebih menuju tempat lain di luar tempat tinggal. Dorongan bepergian ini adalah karena berbagai kepentingan baik kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama, kesehatan maupun kepentingan lain seperti karena sekedar ingin tahu, menambah pengalaman ataupun untuk belajar (Swantoro Gamal: 1997 : 3 )”.

Definisi wisatawan menurut Word Trade Organisasion dalam Marpaung Happy, (2000 :15) mengatakan :

“Wisatawan adalah setiap orang yang bertempat tinggal di suatu negara tanpa memandang kewarganegaraanya, berkunjung ke suatu tempat pada negara yang sama untuk jangka waktu lebih dari 24 jam yang tujuan perjalanannya dapat di klsifikasikan pada salah satu dari hal berikut ini, (1) Memanfaatkan waktu luang untuk berekreasi, liburan, kesehatan, pendidikan, keagamaan dan olah raga. (2) Bisnis atau mengunjungi keluarga”.

Menurut Gamal Swantoro (1997 : 7), Wisatawan adalah seseorang atau kelompok orang yang melakukan perjalanan wisata dan lama tinggalnya sekurang-kurangnya 24 jam di daerah atau negara yang di kunjungi.

“Menurut ahli kepariwisataan G.A.Schmoll wisatawan adalah individu atau kelompok individu yang mempertimbangkan dan merencanakan tenaga beli yang dimilikinya untuk perjalanan rekreasi dan berlibur, yang tertarik pada perjalanan pada umunya dengan motivsi perjalanan yang pernah ia alakukan, menambah pengetahuan, tertarik oleh pelayanan yang di berikan oleh suatu daerah tujuan wisata yang dapat menarik pengunjung di masa yang akan datang”.

Dari beberapa definisi wisatawan di atas dapat di simpulkan wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan lebih dari 24 jam, tinggal di suatu tempat untuk sementara, jauh  dari tempat tinggal, tidak untuk mencari penghasilan.

Jenis Pariwisata

Menurut motif-motif orang melakukan wisata terdapat banyak orang yang malakukan wisata. Motif wisata adalah sebagai berikut:

  1. Pariwisata untuk menikmati perjalanan (Pleasure Tourism)Jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk berlibur, mencari udara segar yang baru, untuk memenuhi kehendak ingin tahu, untuk mengendorkan ketegangan saraf, untuk melihat sesuatu yang baru, untuk menikmati keindahan alam, untuk mengetahui hikayat rakyat setempat, untuk mendapatkan ketenagan dan kedamaian di luar kota, atau bahkan sebaliknya untuk menikmati hiburan di kota kota besar ataupun untuk ikut serta dalam keramian pusat-puast wiasatawan.
  2. Pariwisata untuk rekreasi (Recreation Tourism). Jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang memanfaatkan hari liburnya untuk beristirahat, untuk memulihkan kembali kesegaran jasmani dan rohaninya. Biasanya mereka tinggal selama mungkin ditempat-tempat yang dianggapnya benar-benar menjamin tujuan-tujuan rekreasi tersebut, misalnya ditepi pantai, pegunugan,pusat-pusat peristrihatan, obyek-obyek wisata, serta wisat alam lainya.
  3. Pariwisata untuk kebudayaan (Cultural Tourism). Jenis pariwisata ini biasanya ditandai oleh adanya rangkaian motivasi, seperti keinginan untuk belajar dipusat-pusat pengajaran, untuk mempelajari adat istiadat, kelembagaan, monumen bersejarah peninggalan pradaban masa lalu, atau monumen besar masa kini, dan tempat-tempat besejarah lainnya.
  4. Pariwisata untuk urusan dagang (Busines Tourism). Jenis pariwisata ini dilakukan untuk kegiatan atau urusan-urusan bisnis atau dagang semata, dan berkaitan dengan urusan-urusan bisnis lainnya.
  5. Pariwisata untuk urusan konferensi (Comvention Turism). Jenis pariwisata mencakup kegiatan konferensi pertemuan baik nasional atau Internasional.
  6. Pariwisata untuk olah raga (Sports Tourism). Jenis pariwisata olah raga ini dapat di bagi menjadi dua kategori yaitu:
  • Big sport event, yaitu peristiwa-peristiwa olahraga besar seperti Olimpiade Games,kejuaraan ski dunia atau turnamen olah raga lainnya yang banyak menarik penonton.
  • Sportying tourism of the practioners, yaitu peristiwa bagi mereka yang ingin berlatih dan memperaktikan sendiri olah raga tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Seperti pendaki gunung, naik kuda dan olah rag pariwisata lainnya.